Kado ulang tahun menumpuk rapi di atas meja. Di sampingnya
sudah siap kue tart dilingkari dua puluh satu lilin. Hari ini ulang tahunku.
Dari jumlah lilin yang disematkan pada kue tart, pasti sudah dapat mengira
umurku kini dua puluh satu tahun. Bukan umur yang muda lagi, namun juga
bukanlah umur yang sudah tua. Karena aku masih bisa berkarya dan melakukan
sesuatu untuk keluarga, nusa, dan bangsa.
Pukul tujuh malam pesta ulang tahunku dimulai. Kawan-kawan
dengan membawa kado masing-masing sudah datang sejak tadi. Di sinilah kami
berada, di ruang tamu yang berukuran tujuh kali enam meter ini. Ruang yang
cukup luas untuk menampung kurang lebih dua puluh orang yang meramaikan pesta
ulang tahunku.
Suasananya cukup meriah, dentuman lagu pop membahana ke
seluruh sudut ruangan. Ayah, ibu, dan kedua adik perempuanku ikut meramaikan
pesta ini. Lampu-lampu hias berwarna-warni menambah gemerlapnya malam. Pesta
ulang tahun yang meriah. Kami bersenda gurau. Dan… tibalah saat aku harus
meniup lingkaran lilin di atas kue tart.
“Selamat ulang tahun kami ucapkan…” Iringan lagu membuat
hasratku terus membuncah ingin segera meniup lingkaran lilin kecil itu.
“… Selamat panjang umur dan bahagia! Tiup lilinya… tiup
lilinnya, tiup lilinnya… sekarang juga…”
Aku berdo’a di dalam hati sebelum ku tiup lilin. Dan inilah
saatnya!
“Sekarang juga… sekarang… jugaaa… !“
Pet…
Seketika lampu mati serentak setelah lilin ku tiup. Sontak
semua berteriak, tak terkecuali aku. Bagaimana tidak kaget, jika tiba-tiba saja
ruangan sebelumnya begitu terang dengan gemerlapnya lampu pesta seketika padam,
begitu pula dengan lilin yang ku tiup.
“Ayah cek sekring di luar dulu…” ujar ayahku sedikit cemas.
“Wah gelap banget nih…” ujar Ayna, salah satu temanku.
Kawan-kawan lain mengiyakan.
“Iya, nih… nakutin!”
Tak ingin kawan-kawanku kecewa, aku menyusul ayah yang sibuk
mengecek sekring di depan. “Aku susul ayah dulu, ya! Siapa tahu butuh
bantuanku.”
Adik perempuanku menarik tanganku. “Jangan, Mbak. Biar aku
saja. Kan, mbak sedang ulang tahun. Jadi, mbak diam saja disini.”
Aku menyetujui usulnya. Dan, aku kini menemani kawan-kawanku
yang mulai ribut sendiri. Lima menit berlalu, ayah dan adikku belum juga
kembali. Kami terpaksa, menyalakan kembali lilin-lilin di kue tartku, agar ada
sedikit cahaya yang melegakan pupil mata kami.
Puk!
Ada yang menepuk pundak kiriku. Sontak aku menoleh. Heran,
tidak ada siapa-siapa. Aku agak merinding karena suasana yang gelap gulita. Aku
merapat pada Inna yang duduk di samping kananku. Tak lama kemudian, ayah dan
ibuku datang membawa nyala api dari korek api.
“Sekringnya terbakar, enggak bisa dibetulkan. Biar ayah
panggil tukang listrik saja.”
“Aduh, kalau panggil tukang listrik, masih lama, dong?” Aku
agak sedih. Mengapa ulang tahunku jadi begini?
Salah satu kawanku, Hendra, mengusulkan, “Bagaimana kalau
kita rayakan ulang tahunmu dengan suasana lilin saja?”
“Benar kata Hendra, Mila!” Serentak yang lainnya menyetujui
usulan Hendra.
Sebenarnya, aku tidak ingin kondisinya menjadi seperti ini,
tapi bagaimana lagi? Tak ada yang menyangka kalau ulang tahunku kini menjadi
gelap.
“Ya, sudah kalau begitu, kita potong kue nya, yuk!” sahutku.
Ibu berdiri. “Oke, ibu carikan lilin yang lebih banyak lagi
di dapur.” Ia kemudian beranjak menuju dapur.
***
Pukul 00.30 WIB tengah malam. Listrik sudah bisa dinyalakan
dan kawan-kawanku sudah pulang semua. Saatnya aku membuka kado dari
kawan-kawanku. Dua puluh orang dengan lima belas kado yang berbeda. Di antara
mereka ada yang berpatungan sehingga kado tidak sebanyak jumlah orang yang
hadir. Tak apalah, yang penting kawan-kawanku sudah berkenan hadir.
Satu persatu aku membuka kado. Ada yang menghadiahkan jam
tangan, tas, bantal lucu, hingga boneka yang memiliki tatapan dingin dan…
menyeramkan!
Rambutnya ikal berwarna pirang, kusut, dan sangat kumal.
Bajunya juga kumal. Memang, benar kainnya berwarna-warni, tapi warnanya sudah
memudar bahkan kekuning-kuningan.
Kedua tangannya terbuat dari plastik, sepertinya agak rapuh.
Sedikit saja aku tekan pasti tanganya patah. Kedua tangan dan kaki boneka itu
dapat digerak-gerakkan dan ditekuk. Sehingga mampu didudukkan pada kursi atau
sekedar disandarkan pada dinding.
Ih… belum lagi wajahnya yang bak hantu! Mukanya pucat
kekuning-kuningan tapi bibirnya merah mencolok. Tersenyum tegas dan mengerikan.
Seolah-olah penuh kelicikan. Kelopak matanya mampu terbuka dan tertutup seraya
badannya terguncang. Bulu matanya lentik panjang, hitam, dan sedikit tajam.
Aih… matanya berwarna biru dan bulat! Jika ia membuka matanya
lebar-lebar, seakan mendelik ke arahku. Seperti ingin mencengkeramku.
Aku bergidik, tengah malam sendirian di kamar. Aku membuka
kado terakhir itu. Awalnya aku heran karena bungkus kado itu berwarna merah
legam tetapi berkilau saat terpantul cahaya. Bentuknya persegi panjang dengan
pita berwarna hitam tersemat di keempat sisinya.
Kuselidiki siapa yang memberi hadiah ini, aku melihat-lihat
seluruh sisi dan sudut kotak kado itu. Mencari kartu ucapan. Ah, ada kartu
ucapannya!
“Selamat ulang tahun Mila. Hari ini adalah harimu! Kau akan
mendapatkan keinginanmu.”
Tapi… tak ada namanya. Siapa, sih?
Kemudian, aku mengumpulkan semua kartu ucapan yang kuperoleh.
Kuingat-ingat siapa saja yang hadir malam ini, lalu kucocokkan. Tapi, tak ada
yang terlewat. Semua yang hadir, semua itulah yang hadir pada kartu ucapan.
Lalu, dari siapa kado tadi?
Lelah berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk menaruh boneka
itu ke kotaknya dan kuletakkan di kolong tempat tidurku, sedangkan kado-kado
yang lain aku rapikan di atas meja belajarku.
Lelah mulai merambat relung tulang belakangku. Mataku pun
juga terasa berat dan ingin sekali terpejam. Entah berapa menit kemudian,
akhirnya mataku terpejam dengan nyaman.
***
Kakiku bergerak-gerak? Ada apa? Apa sudah pagi?
“Nanti dululah… capek, nih!” gerutuku dengan mata masih
tertutup.
Namun, guncangan di kakiku semakin keras. Kurasakan tangan
yang menyentuh kakiku terasa dingin. Pasti baru saja cuci tangan. Ah! Membuatku
terpaksa untuk bangun karena sentuhan dinginnya.
Mataku terbuka, tapi tak kuhiraukan ia yang membangunkanku.
Namun, tiba-tiba jempol kakiku ditarik! Begitu keras hingga persendian tulang
jempolku berbunyi. Seketika itu aku marah.
“Kira-kira, dong, kalau mau bangunin!” aku mengangkat badanku
dan hendak melihat siapa diantara anggota keluarga yang membangunkanku dengan
keji seperti itu.
Jempolku terasa linu. Sambil terus melihat sekeliling kamarku
yang remang-remang karena hanya lampu tidur saja yang menyala. Aku menoleh ke
arah jam dinding. “Ya, ampun! Ini masih jam satu kurang lima menit! Kenapa
membangunkanku jam segini, sih?! Nggak tahu apa, aku capek! Baru setengah jam
aku tidur sudah dibangunin. Ada apa sih?!”
Tak ada yang menyahut, juga tidak tampak seorang pun di
kamarku. Aku sedikit merinding. Sedangkan jempol kakiku juga masih terasa
sangat ngilu. Aku memutuskan untuk tidur lagi, meski sebenarnya aku tidak akan
bisa tidur lagi.
Benar saja, insomnia menjalar di tubuhku. Badanku seakan
tidak ingin melemas, juga mataku seperti diganjal korek. Kantuk pun rasanya
sudah hilang. Aku menutupi kepalaku dengan selimut.
Tapi… ah, itu mungkin hanya mimpi dan halusinasiku saja. Tapi
mengapa rasa ngilu di jempolku masih terasa? Ini bukan mimpi!
Hah, selimutku ditarik! Ya tuhan, lindungilah aku!
Seketika berhenti! Namun, aku tetap tak ingin membuka
selimutku. Karena aku yakin, tidak ada orang lain di kamarku. Karena pintu
kamarku pun tak berbunyi pertanda tidak ada seseorang pun yang masuk.
***
“Apa-apaan ini?!” jeritku seraya melihat lengan kiriku penuh
dengan goresan yang dalam dan darah yang bercucuran. Darahnya tidak banyak,
namun sudah mengering. Selain itu, lebam yang membiru di sekitar lukanya. Warna
kulitku menjadi kekuning-kuningan karena pucat.
Pagi ini, aku bangun karena merasakan perih di lenganku,
ternyata memang lenganku yang tersayat. Ayah, ibu, dan adik-adikku bergegas
masuk dan menjerit melihatku. Mereka sangat terkejut melihatku.
“Astaga, Mila!” ibuku menggeleng-gelenggkan kepala, seakan
tidak percaya melihatku. Ia menangis dan menjauhiku.
“Mbak… kenapa Mbak berubah seperti ini?”
“Berubah?”
Adikku memberikan cermin padaku. Seketika aku melihat
wajahku, dan aku berubah! Aku menjadi… seperti boneka yang kudapat tadi malam!
Lengkap dengan lipstik merah menyala di bibirku!
Aku segera menoleh mencari kado yang semalam kutaruh di
kolong tempat tidur. Ternyata kotaknya terbuka dan tidak ada isinya. Ke mana
boneka itu?
Aku menangis! Aku tampak muda! Sangat muda!! Bahkan nyaris
seperti gadis kecil berwujud boneka. Apa ini jawaban atas doaku semalam? Bahwa
kuingin tetap muda seperti gadis kecil. Dan kini…?
TAMAT